NIAS, Berita HUKUM - Pemerintah diminta menyatukan kembali daerah pemekaran di Kepulauan Nias yang sampai saat ini hanya menimbulkan beragam masalah. Bahkan, pemekaran daerah justru menjadi sumber konflik di tengah-tengah masyarakat, dan membuka peluang prilaku koruptif.
Pemekaran lima daerah otonomi hanya dijadikan ajang perebutan kekuasaan oleh elit politik lokal dan kelompok kepentingan di Kepulauan Nias. Tingkat korupsi pun dari tahun ketahun terus meningkat, tegas Ramos Soegrandri Hulu, Koordinator Masyarakat Nias Anti Korupsi (Maniak), di Gunungsitoli, Senin (2/4).
Ramos menuturkan, beberapa hal yang menjadi akar permasalahan korupsi antara lain pelaksanaan otonomi daerah yang lebih pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan, dan administrasi, Hal ini membuka peluang elite lokal untuk menyalahgunakan wewenang.
Kedua, tidak adanya institusi yang mengawasi pelaksanaan di daerah. Otonomi, menurutnya, menyebabkan tidak ada lagi hubungan secara langsung antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Akar permasalahan ketiga, menurut Ramos, lembaga legislatif justru gagal menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol.
Kami akan segera minta Kementerian Dalam Negeri melaporkan kondisi daerah pemekaran di Nias kepada DPR, supaya segera menghapus daerah pemekaran di Kepulauan Nias, ujarnya.
Kinerja Buruk
Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, dalam suatu kesempatan mengungkapkan keprihatinnya,. Menurut Gamawan, kepala daerah cenderung menjadi majikan, bukan pelayan rakyat. Kebiasaan daerah pemekaran lebih mendahulukan mempercantik diri, ketimbang mengalokasikan anggaran untuk pemberdayaan rakyatnya.
"Janganlah bangun gedung bagus-bagus dulu atau beli mobil dinas. Bila perlu sewa dulu. Saya sering mendapat aduan masyarakat, yang kurang terperhatikan. Saya tentu tak mau dengar lagi, di suatu daerah, banyak kematian ibu atau kematian bayi yang masih tinggi, tapi kantor dan rumah serta mobil dinasnya mewah," kata Gamawan.
Dan memang tak semua daerah yang dimekarkan berhasil. Tujuan pemekaran pun sepertinya masih jauh dari kenyataan. Akselerasi pembangunan belum optimal. Pelayanan publik masih buruk. Justru yang terjadi adalah hadirnya raja-raja kecil di daerah yang membajak tujuan otonomi daerah untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Korupsi pun justru kian marak di era otonomi daerah.
Data Kemendagri mencatatkan kurang lebih 281 kepala daerah dan wakil kepala daerah terjerat masalah hukum. Status 281 kepala daerah tersebut ada yang sudah menjadi tersangka, terdakwa, saksi, dan terpidana. Bahkan, di antaranya diberhentikan permanen setelah mendapat putusan hukum tetap. Data lain dari Kemendagri menyebutkan, sekitar 70 persen dari 281 kepala daerah yang bermasalah itu terjerat pidana korupsi. Sisanya terlilit tindak pidana umum, seperti pemalsuan ijazah dan lainnya. (bhc/rio/rat)
Sumber: www.beritahukum.com |